Kendari Haksuara.id
Jaya Tamalaki selaku Pemerhati politik Sultra mengungkapkan bahwa Fenomena gencarnya kemunculan para calon pemimpin Sultra yang hanya giat pamer isi saku ketimbang gagasan pemersatu, kian menjauhkan pemikiran mayoritas masyarakat Sultra dari tujuan utama dalam memilih pemimpin.
Imbasnya, masyarakat digiring untuk hanya melihat pemimpin menurut isi sakunya, bukan menilai kriteria kelayakannya untuk membangun Sultra menjadi lebih baik ke depan, dengan sumberdaya alamnya yang melimpah, dan rakyatnya yang heterogen.
Dominasi trand ini, tentu saja dipicu oleh minimnya sumberdaya mayoritas para calon pemimpin, hasrat penguasaan, dan kekuasaan, pengelolahan kekayaan Sultra, serta nafsu untuk melanggengkan dinasti kekuasaannya.
Jaya menambahkan, Dengan gaya khas, Alhasil mayoritas dari para calon, harus berusaha menutupi target dan niat utama mereka melalui adu isi saku, bukan adu isi kepala. Kondisi ini mendorong para calon untuk menggunakan semua cara demi mengisi saku sebanyak mungkin, ketimbang mengisi kepala dengan ide-ide cemerlang, trobosan kebijakan yang gemilang, visi misi yang terukur dan tepat guna, serta gagasan pembangunan yang mampu mengadilkan semua pihak.
Pamer saku yang dilakukan hampir semua calon pemimpin Sultra saat ini, kian menjauhkan rakyat dan generasi kita dari edukasi demokrasi yang baik, mendegradasi rasa cinta terhadap tanah kelahiran, dan meruntuhkan budaya politik manusiawi, sehingga kian meresahkan, dan menguatirkan mereka yang berpikir tentang masa depan Sultra, yang sekarang ini menjadi target utama kaum materialistik, dan serbuan para penganut faham liberalisme, sebagai imbas dari daya pikat sumber daya alam Sultra yang seksi.
Ketika parameter kepimpinan hanya dilihat dari isi sakunya, maka dengan mudah masyarakat ditipu melalui janji manis, dan isi amplop untuk menutupi kekurangan dan kegagalan para calon yang sebelumnya pernah memimpin. Karena orientasinya untuk membangun dinasti dan melanggengkan kekuasaan, mereka lalu berlomba-lomba mengumpulkan uang sebanyak mungkin dengan berbagai cara ketika memimpin, karena ingin meneruskan kekuasaan, bukan mengumpulkan banyak prestasi untuk mempantaskan diri menjadi pemimpin yang amanah di Sultra.
Karenanya, jangan heran jika ada banyak calon yang berusaha menancapkan kekuasaan dengan memaksakan untuk mendudukkan diri, dan keluarga mereka di berbagai lini, tanpa melihat kapasitas dan kelayakannya. Jika budaya politik semacam ini dilenggengkan, maka Sultra akan tunduk pada isi saku, serta mengalami krisis pemimpin yang jujur dan amanah. Sebab hampir mustahil seorang pemimpin yang cerdas, bersih, dan berkapasitas, mampu menyaingi isi saku para calon pemimpin yang korup dan ambisius untuk mendirikan dinasti.
Satu-satunya cara untuk menghentikan budaya meterialistik yang hanya akan menjauhkan generasi kita dari dominasi spiritualistik ini, adalah mengedukasi masyarakat untuk jeli melihat kinerja dan masa lalu para calon, karena semua yang memajukan diri hari ini untuk Sultra, pernah dan sedang memimpin.
Untuk menggenapkan pepatah lawas tentang ‘uang jin dimakan setan,’ biarkan mereka menghambur uang hasil manipulasi dan korup para calon, tetapi pilihlah yang terbaik ketika di TPS. Dengan begitu, secara tidak langsung, masyarakat memberi pelajaran para calon yang selama ini lalai mempantaskan diri menjadi penguasa, demi Sultraku, Sultramu, dan Sultra kita bersama.
Lanjut Jaya Tamalaki “Hukum alam sudah mengajarkan kepada kita bahwa, ketika calon pemimpin hanya memainkan serta mengandalkan uang, harta, dan kekuasaan ketika mencalonkan diri, maka uang, harta dan kekuasaan jugalah yang menjadi target utamanya ketika memimpin.”
Red/Is